Tidak
berlebihan apabila dikatakan bahwa kelahiran dan perkembangan ilmu
fisika yang sebagaimana dikenal sekarang, sesungguhnya baru dimulai
setelah terjadi peralihan paradigma mengenai cara dan pendekatan untuk
mencari kebenaran. Menurut paradigma yang dipelopori oleh para ahli
falsafah besar, Aristoteles, Plato, dan Socrates, kekuatan logika dan
penalaran deduktif merupakan bekal dan proses yang dapat 'menemukan'
kebenaran (syllogism). Paradigma yang dirintis oleh Frances
Bacon, dan diperkuat oleh Galileo dan Newton, telah membuka cakrawala
baru yang menganut epistemologi sebagai 'jalan raya' menuju kebenaran
ilmiah. Menurut paradigma baru ini, proses mencari kebenaran dapat pula
bersifat induktif, dan verifikasi kebenaran harus berdasarkan fakta yang
teramati dan/atau terukur. Sebagai akibatnya, ilmu pengetahuan pada
umumnya mempunyai validitas terbatas, bergantung pada kemampuan
pengamatan kita. Paradigma inilah yang menekankan landasan empiris pada
ilmu pengetahuan alam pada umunya, dan fisika pada khususnya.
Perkembangan fisika sebagai proses siklus interaksi eksperimen dan
teori yang berkesinambungan, yang sebenarnya berlaku pula untuk
perkembangan IPA pada umumnya. Sebetulnya, 'cerita' mengenai peran
dongengnya sudah bertebaran di sejumlah buku ajaran maupun buku bacaan
'informal'.
Aspek terkait yang tidak kalah pentingnya dan sejauh ini kurang
mendapatkan perhatian, adalah interaksi antara fisika dan bidang ilmu
lain yang menghasilkan berbagai ragam ilmu interdisiplin, serta
interaksinya dengan teknologi. Dalam proses interaksi tersebut, telah
terjadi terobosan-terobosan penting akibat efek penyuburan silang (crossfertilization). Aspek ini perlu mendapat penekanan untuk mengurangi pandangan stereotipe
masyarakat kita mengenai fisika yang terkesan mandul. Padahal, tiada
satu negara maju masa kini yang tidak menguasai sains pada umunya dan
fisika pada khususnya, karena perannya sebagai tulang punggung teknologi
maju.